KECERDASAN
DAN KOMUNIKASI PADA HEWAN
A. Kecerdasan Hewan
Beberapa
dekade, masyarakat masih menolak pemikiran bahwa hewan memiliki kemampuan untuk
berfikir. Ahli perilaku Lloyd Morgan, menyatakan bahwa tidak harus perilaku
didasarkan kepada peristiwa sadar yang dijalankan oleh otak, namun bisa saja
setiap perilaku hewan didasarkan atas reflex.
Pada
tahun-tahun berikutnya, berbagai penelitian dilakukan untuk berperilaku secara
kognitif (perilaku berfikir). Kucing-kucing dikampung sering mampu membuka
makanan yang tertutup sampah yang terbungkus, bahkan burung gagak yang mampu
membuku botol-botol yang diperkirakan masih mengandung cream yang bisa diminum.
Seekor simpane memelintir daun-daunan atau mengumpulkan ranting untuk mengambil
anai-anai yang sembunyi dalam sarang di pepohonan. Baru sedikit penelitian yang
mengkaji perihal kecerdasan hewan, dan beberapa hasilnya belum menunjukkan
bahwa hewan sering memberikan informasi yang salah dan tidak sesuai dengan
hipotesis.
Peneliti
sedang berusaha untuk membuktikan hipotesis bahwa hewan dari bangsa primate
mampu menirukan atau memanipulasi perilaku seperti halnya sebagai hasil proses
berfikir, contohnya pada simpanse dan baboon, meskipun terasuk sulit untuk
melakukan penelitian dilapangan guna membuktikannya. banyak riset terhadap
permasalahan sejenis ini dirasakan masih sangat mentah, akn tetapi sangat
diyakini akan tumbuh dan berkembang dan akan menimbulkan kontroversi.
Setidak-tidaknya aka nada upaya-upaya untuk menghilangkan pemikiran yang
dogmatis tentang kesadaran berfikir hewan.
Dalam
beberapa hal, beberapa contoh dapat dikemukakan terutama hal-hal yang
berhubungan dengan “pemecahan masalah” (problem solving) yang dilakukan oleh
hewan. Percobaan yang menjadi contoh sangat kuat yang menjelaskan tentang
adanya proses mental yang dilakukan oleh simpanse. Simpanse ditempatkan pada
sebah ruangan yang diatasnya tergantung pisang kesukaannya. Di sekitarnya
ditempatkan beberapa balok/kotak yang mudah untuk diangkat oleh simpanse.
Awalnya
simpanse mencoba meraih pisang dengan cara melompat, namun ketika beberapa
ketidak berhasil, ia meneliti keadaan sekelilingnya. Pengamatan difokuskan
kepada kotak-kotak yang ada disana, kemudian pikirannya berpose dan kemudian
kotak-kotak itu dipindahkan dibawah pisang satu persatu sampai tersusun k eats.
Kemudian simpanse menaaiki tumpukn kotak tersebut dan meraih pisang dari atas
tumpukan kotak.
Kelhatannya
perilaku simpanse diatas bukan merupakan kejutan bagi kita untuk melihat
kecerdassan hewan yang mirip dengan kecerdasan manusia. Akan tetapi, penelitian
ini telah menunjukkan bahwa hewan juga menunjukkan tanda-tanda adanya kegiatan
berfikir.
Gagak
merupakan hewan yang mewakili kelompok burung yang paling cerdas dan
menunjukkan adanya tanda-tanda proses berfikir. Bernd Heinrich dari Universitas
Vermont melakukan satu eksperimen dengan menggunakan sekelompok burung yang
ditepatkan di satu sangkar besar. Heinrich menempatkan ikatan daging pada sau
ranting yang ada dalam sangkar tersebutdan menggantungkannya. Daging adalah
makanan yang paling disukai oleh jalak, dan sebelumnya jalak belum melihat
ranting yang digantungi ranting tersebut. Penempatan daing semakin dibuat
sedemikian rupa sehingga jalak tidak memungkinkan untuk menjangkau/mematuknya
secara langsung.
Setelah
beberapa jam, burung tersebut selama beberapa waktu secara rutin melihat daging
yang tergantung tersebut, akan tetapi ia tidk dapat melakukan apapun. Kemudian
burung tersebut terbang dan hinggap pada ranting tepat diatas tali dimana
daging tersebut diikat. Kemudianikatan tali tersebut diurai sehingga ikatan
tali tebuka. langkah selanjutnya ikatan tali tersebut ditarik sedikit demi
sedikit sampai akhirnya ikatan daging berada pada jangkauan untuk dipatuk.
Tindakan burung ini dilakukan berulang kali pada tangkai ranting yang lain yang
digantungi daging.
Semakin
sering melakukan hl tersebut, kecepatan burung mengambil daging semakin tinggi.
Dari peristiwa ini dapat diketahui bahwa burung gagak mampu memecahkan satu
masalah. Burung-burung gagak lain yang mengamati juga melakukan hal serupa
untuk mendapatkan daging dalam gantungan tersebut. Penelitian Heinrich telah
menipis kegauan bahwa burung gagak tidak memiliki kemampuan berfikir.
B. Belajar
Para
ahli periaku hewan (ethologis) mencobaa menjelaskan bahwa perilaku hewan lebih
disebabkan oleh proses-proses yang bersifat insting, para ahli psikologi
perbandingan sangat memfokuskan diri dari penelitian mengenai proses berfikir
sebagai elemen utama dalam pembentukan perilaku hewan.
Para
ahli perilaku ini bekerja terutama dengan menggunakan tikus-tikus dalam
laboratorium untuk mengetahui proses bagaimana hewan belajar. Menurut para ahli
tersebut, belajar adalah modifikasi perilaku yang dihasilkan dari pengalaman
dan bukan karena dilahirkan.
Jenis paling sederhana dari proses
belajar adalah apa yang disebut sebagai pembelajran non-asosiatif, dimana hewan
tidak memerlukan asosiasi atau hubungan antara dua stimulus/rangsang atau
antara sat stimulus dengan satu respon/tanggapan.
Satu bentu dari belajar
non-asosiatif adalah habituasi atau pembiasaan. Habituasi atau pembiasaan
diartikan sebagai suatu bentuk penuruan respon terhadap rang snag yang terjadi
secara berulang yang tidak memberikan pengaruh positif atau pengaruh negative
atau dalam kata lain tidak ada penguatan.
Dalam
banyak kasus, stimulus menimbulkan suatu respon kuat ketika stimulus diberikan
pertama kali, akan tetapi, besarnya respn akan semakin berkurang secara
bertahap dengan diberikannya stimulus secara berulang. SSebagai cintoh, seekor
burung kecil melihat banyak objek yang bertebrbangan dikepalanya. Pada mulanya,
sang burung akan memberikan reaksi atau respon dengan cara membungkukkan
badannya.Beberapa objek tersebut, misalnya daun-daun yang jatuh atau temanteman
satu jenisnya yang sedang berterbangan terlihat sangt sering namun tidak
memberikan pengaruh apapun (baik positif maupun negative terhadap dirinya.
Setelah sekian lama, sang burung muda, menjadi tebiasa (habituatif) terhadap
rangsang-rangsang tersebut dan menghentikan respon atau stimulsnya. Dengan
demikian, habituasi dapat dikatakan sebagai belajar untuk tidak merespon
terhadap rangsang/stimulus.
Mampu
mengabaikan rangsang atau stimulus tidak penting merupakan hal luar biasa bagi
binatang, mengingat ia harus menghadapi berbagai rangsang atau situasi
lingkungan yang kompleks.
Bentuk lain dari belajar
non-asosiatif adalah sensitisasi. Sensitisasi dicirikan oleh meningktanya
kemampuan reaksi terhadap stimulus. Sensitisasi merupakan kebalikan dari
habituasi.
Suatu
perubhan dalam tingkah laku yang mencakup hubungan antara dua stimulus atau
antara satu stimulus dengan satu respon disebut dengan pembelajaran asosiatif.
Peilaku ini merupakan modifikasi atau pengkondisisan melalui saling hubungan. Bentuk belajar ini lebih
ompleks daripada habituasi (pembiasaan) atau sensitisasi. Dua bentuk besar
asosiasi belajar disebut dengan pengkondisian klasik dan pengkondisisan
operant. Keduanya berbeda dalah hal penetapan asosias (hubungan).
C. Pengkondisian
Klasik (Classical Editioning)
Dalam
pengkondisian klasik, pasangan dari dua jenis stimulus yang berbeda menyebabkan
hewan melakukan/mencari hubungan antara stimulus tersebut. Pengkondisian klasik
disebut juga dengan pengkondisian Pavlop (Pavlopian Conditioning). Pavlop
diambil dari nama Psikolog Rusia; Ivan Pavlop yang pertama kali menjelaskan
peristiwa tersebut. Pavlop menyediakan serbuk daging dan kemudian satu stimulu
yang tidak dikondisiskan diberian kepada anjing. Ia mencatat, ternyata anjing
mengeluarkan air liurnya, ini merupakan respon tidak dikondisiskan. Jika suatu
stimulus tidak berhubungan, misalnya membunyikan bel, kemudian pada saat yang
bersamaan juga distimuluskan serbuk daging, setelah beberapa kali ulangan,
ternyat anjing tetap mengeluarkan air lirnya ketika dibunyikan bel walaupun
tanpa distimuluskan serbuk daging. Responn air liur ini adalah sebagai jawaban
terhadap dua stimulus berbeda walupun yang distimuluskan hanya berbunyi bel ini
saja.
Dari percobaan
ini dapat dilihat bahwa aning telah belajar untuk merespon stimulus yang sama
sekali tidak berkaitan. Responnya kepada bunyi bel menunjukkan bahwa sel
merupkan bentuk stimulus yang dikondisisikan.
D. Pengkondisian
Operant (Operant Conditioning)
Dalam keadaan
pengkondisian operant, seekor hewan belajar untuk menghubungkan antara perilaku
responya dengan hadiah atau hukuman. Seorang psikolog Amerikan B.F Skinner
mengkaji pengkondisian operant ini pada tkus-tikus dengan menempatkannya pada
tempat yang diebut “Kotak Skinner”
Ketikatikus
menjelajah kotak tersebut, aka nada tombl yang terinjak secara tdak sengaja,
dan dengan terinjaknya tombol tersebut akan menyebabkan makanan dalam bentuk
pellet terjatuh. Pada mulanya tikus-tikus tersebut tidak akan menghiraukan
tomboh tersebut, ia kan meneruskan makan dan terus melakukan gerakan-gerakan
sebagaimana biasanya. Namun kemudian, segera setelah itu, snag tikus akan
belajar menghubungkan antara menekan tombol (respon perilaku) dengan
diperolehnya makanan (hadiah).
Ketika
tikus-tikus tersebut dalam keadaan lapar, ia akan menghabiskan waktunya untuk
menekan-nekan tombol tersebut. Belajar “trial and error dalam waktu singkat ini
merupakan peristiwa yang banyak tejadi pada hean-hewan bertulang belakang.
Para
ahli psikologi Komparatif percaya bahwa dua stimulus dapat dihubungkan dengan
pengkondisian klasik dan bahwa hewan dapat dikondisikan untuk perilku dapat
belajardalam merespon setiap stimulus dalam entuk pengkondisian operant.
E. Naluri
(Instinct)
Beberapa hewan
memiliki kecenderungan bawaan earah terbentuknya asosiasi dala berfikir.
Sebagai contoh, jika kepada seekor tikus diawarkan sebutir makanan dan pada
saat yang bersamaan disorotkan kepadanya sinar X yang dapat menyebabkan sang
tikus merasa mual-mual, maka tikus tersebut akan ingat terhadap rasa butiran
makanan tersebut (yang dapat menyebabkan mual-mual) dan bukan terhadap ukuran
makanannya. Sebaliknya, jika pada suatu saat tikus diberi butiran makanan
dengan ukuran tertentu kemudian pada saat tersebut diberikan sengatan listrik
yang akan akan menyebabkan dia merasa kesakitan, maka sang tikus akan mengingat
ukuran butiran makanan tersebut dan ukan pada rasanya.
Denagn
cara yang sama, seekor merpati bisa belajar untuk menghubungkan makanandengan
warnanya, akan tetapi di sisi lain merpati isa menggunakan bahaya dengan bunyi,
akan tetapi tidak bsa menghubungkannya (bahaya) dengan warna makannannya.
Cntoh-contoh
yang memperlihatkan peristiwa persiapan pembelajaran terjadi pada hewan, dimana
hewan dapat belajar dibawah pengaruh biologis – yakni, kemungkinan belajar
hanya terjadi dalam batas-bats yang ditentuukan oleh insting atau naluri.
“Program” bawaan dari dala tuuh hewan juga mempengaruhi respon adaptif.
Tikuss-tikus yang mencari makan pada malam hari dan memiliki kemampuan membau
sifat bahaya atau tidaknya makanan daripaa bentuk, warna dan ukurannya.
Benih
yang dimakan oleh burung merpati mungkin memiliki warna yang berbeda yang bisa
dibedakan oleh merpati, akan tetapi suara yang ditimbulkan oleh makanan tidak
bisa didengar dengan baik oleh makanan tersebut. Penelitian tentang belajar
tersebut telah meluas mencakup pengaruh-pengaruh ekologisnya, sehingga kita
bisa memperoleh gambaran baru tentang apa yang disebut sebagai “evolusi
belajar”.
Ekologi
hewan tentu ssaja merupakan kunci untuk memahami apa yang mampu dipelajari oleh
hewan. beberapa jenis burung, sebagi contoh burung-burung yang menyuai
biji-bijian yang keras, pemakan benih. Burung-burung tersebut menyimpan benih
yang diperoleh dengan menguburkannya ketka benih sedang melimpah sebagai
persediaan untuk musim dingin atau musim pacekik tiba. Ribuan benih dapat
terkubur dalam areal yang cukup luas dan kemudian diambil kembali. Dari perilaku ini orang akan berfikir bahwa burung-burung ini
memiliki kemampuan untuk mengingat ruang dengan luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar